Apakah demokrasi itu? Demokrasi adalah “pemerintahan
rakyat”. Cara pemerintah ini memberi hak kepada semua rakyat untuk ikut
memerintah. Cara pemerintahan ini sekarang menjadi cita-cita semua
partai-partai nasionalis di Indonesia. Tetapi dalam mencita-citakan paham dan
cara pemerintahan demokrasi itu kaum Marhaen toh harus berhati-hati. Artinya:
jangan meniru saja “demokrasi-demokrasi” yang kini dipraktekkan di dunia
luaran.
Bagaimanakah prakteknya demokrasi di dunia luaran itu?
Yang membawa “demokrasi” mula-mula di dunia Barat ialah
pemberontakan Perancis, kurang lebih 100 sampai 125 tahun yang lalu. Sebelum ada
pemberontakan Perancis itu, cara pemerintahan Eropa adalah otokrasi: kekuasaan
pemerintah adalah di tangan satu orang saja, yaitu di dalam tangan Raja. Rakyat
tidak ikut bersuara. Rakyat harus menurut saja. Raja mengaku dirinya sebagai
wakil Allah di dunia ini.
Salah seorang raja yang demikian itu pernah ditanya oleh salah
seorang menterinya: ”Ratu, apakah staat itu? Apakah yang dinamakan staat itu?” Raja
menjawab: ”Staat[1]
adalah
aku sendiri! L’Etat, c’est moi!”[2]
Memang raja ini adalah seorang otokrat yang tulen!
Di dalam cara pemerintahan otokrasi itu, raja disokong oleh dua golongan.
Pertama: golongan kaum ningrat, kedua: golongan kaum penghulu agama. Kedua
golongan ini menjadi bentengnya raja, bentengnya otokrasi. Jadi raja + kaum
ningrat + kaum penghulu agama adalah “gambarannya” kaum jempolan di dalam masyarakat
ini. Masyarakat yang demikian itu dinamakan masyarakat FEODAL.
Tetapi lambat laun timbullah satu golongan baru, suatu kelas baru,
yang ingin mendapat kekuasaan pemerintahan. Golongan baru atau kelas baru ini
adalah kelasnya kaum borjuis. Mereka punya perusahaan-perusahaan, mereka punya
perniagaan, mereka punya pertukangan, mulai lahir dan timbul. Untuk suburnya
dan selamatnya perusahaan mereka, perniagaan mereka dan pertukangan mereka itu,
perlulah mereka mendapat kekuasaan pemerintahan. Mereka sendirilah yang lebih
tahu mana undang-undang, mana aturan-aturan, mana cara-cara pemerintahan yang paling
baik buat kepentingan mereka, dan bukan raja, bukan kaum ningrat, bukan kaum
penghulu agama!
Tetapi kekuasaan masih di tangan raja, dibentengi oleh kaum
ningrat dan kaum penghulu agama!
“Welnu”, kata orang borjuis, ”kekuasaan itu harus direbut!” tetapi
untuk merebut, orang harus mempunyai kekuatan! Padahal kaum borjuis belum
mempunyai kekuatan itu!
“Nah”, kata kaum borjuis sekali lagi,”kita memakai keuatan rakyat jelata!”
Dan begitulah maka rakyat jelata itu oleh kaum borjuis lalu diajak
bergerak, dirabunkan matanya, bahwa pergerakannya itu ialah untuk mendatangkan
“kemerdekaan, persamaan dan persaudaraan”! “Liberte, fraternite,
egalite”’ adalah semboyannya pergerakan borjuis memakai tenaga rakyat
itu.
Rakyat menurut, ya, rakyat berkelahi mati-matian! Apakah sebabnya rakyat
mau diajak bergerak? Sebabnya ialah bahwa nasib rakyat di bawah pemerintahan
otokrasi itu adalah nasib yang sengsara sekali, dan bahwa rakyat itu masih
kurang sadar yang ia hanya menjadi perkakas borjuis saja.
Pergerakan menang! Raja runtuh, kaum ningrat runtuh, kaum penghulu
agama runtuh, pendek kata: otokrasi runtuh, diganti dengan cara pemerintahan
baru yang dinamakan “demokrasi”. Di negeri diadakan parlemen, dan “rakyat boleh
mengirim utusan ke parlemen itu”
Cara pemerintahan inilah yang kini dipakai oleh semua negeri di Eropa
Barat dan di Amerika. Perancis mempunyai parlemen, Inggris mempunyai parlemen,
Belanda mempunyai parlemen, semua negeri modern mempunyai parlemen. Di semua
negeri modern itu adalah “demokrasi”…
* * *
Tetapi, ..... di semua negeri modern itu kapitalisme subur dan
merajalela! Di semua negeri modern itu kaum proletar ditindas hidupnya. Di
semua negeri modern itu kini hidupnya milyunan kaum penganggur, upah dan nasib
kaum buruh adalah upah dan nasib kokoro, di semua negeri modern itu
rakyat tidak selamat, bahkan sengsara sesengsara-sengsaranya.
Inikah hasilnya “demokrasi” yang dikeramatkan orang?
Amboi, parlemen! Tiap-tiap kaum proletar kini bisa ikut memilih
wakil ke dalam parlemen itu, tiap-tiap kaum proletar kini, kalau dia mau, bisa
mengusir menteri, menjatuhkan menteri itu terpelanting dari kursinya. Tetapi
pada saat yang ia bisa menjadi “raja” di parlemen itu, pada saat itu juga ia
sendiri diusir dari pabrik di mana ia bekerja dengan upah kokoro, dilemparkan di
atas jalan, menjadi orang pengangguran!
Inikah “demokrasi” yang dikeramatkan?
Dengarkanlah pidatonya Jean Jaures, -bukan komunis-!, mengkritik “demokrasi”
itu:
“Kamu, kaum borjuis, kamu mendirikan republik, dan itu adalah
kehormatan yang besar. Kamu membikin republik itu teguh dan kuat, tak dapat
dirubah sedikitpun jua, tetapi karena itulah kamu telah mengadakan pertentangan
antara susunan politik dan susunan ekonomi.”
“Karena Pemilihan Umum, kamu telah membikin semua penduduk berkumpul
di dalam rapat yang seolah rapatnya raja-raja. Mereka punya kemauan adalah
sumbernya tiap undang-undang, tiap pemerintahan; mereka melepas mandataris, pembuat
undang-undang dan menteri. Tetapi pada saat itu juga yang si buruh menjadi
ntuan di dalam urusan politik, maka ia adalah menjadi budak belian di dalam
urusan ekonomi”
“Pada saat yang ia menjatuhkan menteri-menteri, maka ia sendiri bias
diusir dari bingkil zonder ketentuan sedikit juapun
apa yang esok harinya akan dimakan. Tenaga pekerjaannya hanyalah suatu barang belian,
yang bisa dibeli atau ditampik oleh kaum majikan, ia bias diusir dari bingkil,
karena ia tak mempunyai hak ikut menentukan peraturan-peraturan bingkil, yang
setiap hari, zonder dia tetapi untuk menindas dia, ditetapkan kaum majikan
sendiri!”
Sekali lagi: inikah “demokrasi” yang orang keramatkan itu?
Bukan, ini bukan demokrasi yang harus kita tiru, bukan demokrasi untuk
kita kaum Marhaen Indonesia! Sebab “demokrasi” yang begitu hanyalah demokrasi
parlemen saja, yakni hanya demokrasi politik saja. Demokrasi ekonomi tak ada.
* * *
Sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi
Di dalam karangan saya yang lalu, saya terangkan dengan singkat,
bahwa demokrasi-politik saja, belum menyelamatkan rakyat. Bahkan di negeri-negeri,
seperti Inggris, Nederland, Perancis, Amerika dll, di mana “demokrasi” telah
dijalankan, kapitalisme merajalela dan kaum Marhaen papa sengsara!
Kaum nasionalis Indonesia tidak boleh mengeramatkan “demokrasi” yang
demikian itu. Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang tidak mencari “gebyarnya”
atau kilaunya luar negeri saja, tetapi ia haruslah mencari selamatnya semua
manusia.
Banyak di antara kaum nasionalis Indonesia yang beranganangan: “Jempol
sekali jikalau negeri kita bisa seperti Jepang atau negeri Amerika atau negeri
Inggris, bank-banknya meliputi dunia, benderanya kelihatan di mana-mana!”
Kaum nasionalis yang demikian itu lupa bahwa barang yang hebat-hebat
itu adalah hasilnya kapitalisme, dan bahwa kaum Marhaen di negeri-negeri itu
adalah tertindas. Kaum nasionalis yang demikian adalah kaum nasionalis yang burgerlijk,
yaitu
kaum nasionalis borjuis. Mereka bisa juga revolusioner, tetapi revolusionernya adalah
Burgerlijk Revolutionair. Mereka hanyalah ingin
Indonesia Merdeka saja sebagai maksud yang penghabisan, dan tidak suatu masyarakat
yang adil zonder ada kaum yang tertindas. Mereka lupa, bahwa
Indonesia-merdeka hanyalah suatu syarat saja untuk memperbaiki masyarakat
Indonesia yang rusak itu. Mereka adalah burgerlijk revolutionair, dan tidak Sociaal
Revolutionair, tidak Marhaenistis Revolutionair.
Nasionalisme kita tidak boleh nasionalisme yang demikian itu.
Nasionalisme kita haruslah nasionalisme yang mencari selamatnya
perikemanusiaan. Nasionalisme kita haruslah lahir dari pada menselijkheid.
“Nasionalismeku adalah peri-kemanusiaan”, begitulah Gandhi berkata. Nasionalisme
kita, oleh karenanya, haruslah nasionalisme, yang dengan perkataan baru kami
sebutkan : SOSIO-NASIONALISME. Dan demokrasi yang harus kita cita-citakan haruslah
juga demokrasi yang kami sebutkan : SOSIO-DEMOKRASI.
Apakah sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi itu?
Dua perkataan ini adalah perkataan bikinan, bikinan kami.
Sebagaimana perkaaan Marhaen adalah kemarin kami “bikinkan” untuk menyebutkan kaum
melarat sengsara, maka perkataan sosio-nasionalisme sosio-demokrasi adalah pula
perkataan bikinan untuk menyebutkan nasionalisme dan demokrasi kita.
Sosio adalah terambil dari perkataan yang berarti: masyarakat,
pergaulan hidup, hirup-kumbuh, siahwee.
Sosio-nasionalisme adalah dus: nasionalisme-masyarakat, dan
sosio-demokrasi adalah demokrasi-masyarakat.
Tetapi apaka nasionalisme-masyarakat dan demokrasi-masyarakat itu?
Nasionalisme-masyarakat adalah nasionalisme yang timbulnya tidak karena
“rasa” saja, tetapi karena “gevoel” saja, tidak karena “lyriek”
saja,
tetapi ialah karena keadaan-keadaan yang nyata di dalam masyarakat. Nasionalisme-masyarakat,
sosio-nasionalisme, bukanlah nasionalisme “ngelamun”, bukanlah nasionalisme “kemenyan”,
bukanlah nasionalisme “melayang”, tetapi nasionalisme yang dengan kedua kakinya
berdiri di dalam masyarakat.
Memang, maksudnya sosio-nasionalisme ialah memperbaiki
keadaan-keadaan di dalam masyarakat itu, sehingga keadaan yang kini pincang itu
menjadi keadaan yang sempurna, tidak ada kaum tertindas, tidak ada kaum yang
celaka, tidak ada kaum yang papa-sengsara.
Oleh karenanya, maka sosio-nasionalisme adalah nasioalisme Marhaen,
dan menolak tiap tindak borjuisme yang menjadi sebabnya kepincangan masyarakat
itu. Jadi sosio-nasionalisme adalah nasionalisme politik DAN ekonomi, suatu
nasionalisme yang bermaksud mencari keberesan politik DAN keberesan ekonomi,
keberesan negeri DAN keberesan rezeki.
Dan demokrasi-masyarakat? Demokrasi-masyarakat, sosio-demokrasi, adalah
timbul karena sosio-nasionalisme. Sosio-demokrasi adalah demokrasi yang berdiri
dengan ke dua kakinya di dalam masyarakat. Sosio-demokrasi bukanlah demokrasi a
la Inggris, a la Nederland, a la Jerman dll, tetapi ia adalah demokrasi sejati
yang mencari keberesan politik DAN ekonomi, keberesan negeri dan keberesan
rezeki. Sosio-demokrasi adalah demokrasi politik DAN demokrasi-ekonomi.
* * *
Komunis?
Sosio-nasionalisme dan sosiodemokrasi bukanlah angan-angan komunis.
Perna saya terangkan, bagaimana seorang pemimpin, Jean Jaures yang bukan
komunis, juga menghendaki demokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Dan di dalam
salah satu karangan saya dulu sudah dikatakan pula, bahwa Dr. Sun Yat Sen
mencela “demokrasi” a la Revolusi Perancis atau a la Inggris, Nederland dll
itu. Begitu pula pemimpin-pemimpin yang lain seperti Gandhi, Nehru-muda dll,
mencela “demokrasi” yang demikian itu.
Memang orang tidak usah menjadi komunis, untuk melihat bahwa di
dalam negeri-negeri “demokrasi” itu, sebagian besar dari kaum rakyat adalah
tertindas oleh kapitalisme. Orang tidak usah menjadi komunis, untuk melihat
bahwa “demokrasi” negeri-negeri itu adalah demokrasi borjuis saja.
Kontra angan-angan demokrasi borjuis ini kaum Marhaen harus
bercita-cita dan menghidupkan sosio-demokrasi, yaitu demokrasi politik dan
demokrasi ekonomi.
Dan kontra nasionalisme borjuis, kita taruhkan sosio-nasionalisme kita.
Bagaimana sosio-demokrasi, demokras-politik dan demokrasi-ekonomi itu,
bisa dijalankan, akan saya gambarkan di dalam garis-garisnya yang besar di
dalam karangan saya yang akan datang.
Hiduplah sosio-nasionalime!
Hiduplah sosio-demokrasi!
(Soekarno, Fikiran
Ra’jat, 1932)
0 Response to "DEMOKRASI-POLITIK & DEMOKRASI-EKONOMI"
Posting Komentar