“Pluralisme
itu bagaikan penjelmaan iblis dan malaikat sekaligus yang menjanjikan harapan
sekaligus ancaman” (Akbar S. Ahmed,
penulis asal Inggris berdarah Pakistan).
A.
Pengertian Pluralisme
Pluralisme merupakan salah satu wacana yang sangat
digalakkan di dalam Postmodernisme. Ada tiga hal yang menjadi wacana dalam Postmodernisme,
yaitu Pluralisme, kematian subjek dan menghilangkan pertentangan binair. Namun
dalam tulisan ini saya akan membatasi diri untuk fokus kepada pluralisme.
Dalam membahas Pluralisme, pertama sekali sangat penting
untuk membedakan istilah Pluralitas dan Pluralisme. Pluralitas adalah fakta
adanya keberagaman (agama, suku, bangsa, budaya, ideologi, dll) di tempat yang
berbeda maupun di tempat yang sama. Pluralisme adalah ideologi atau pandangan
yang menghargai keberagaman, serta penghormatan terhadap yang lain, membuka
diri terhadap keberagaman tersebut serta melibatkan diri secara aktif dalam
sebuah proses dialog, debat, atau argumentasi di dalamnya dengan maksud mencari
persamaan-persamaan sambil tetap menghargai dan menjunjung tinggi
perbedaan-perbedaan yang ada.[1] Oleh
karena itu kita bisa mengasumsikan, tanpa adanya proses dialog dalam upaya
mencari penyelesaian-penyelesain bersama dalam permasalahan-permasalahan
bersama di dalam masyarakat yang plural, maka sesungguhnya tidak ada
pluralisme. Tujuan dari pluralisme itu sendiri adalah menghilangkan, paling
tidak meminimalisir intoleransi yang disebabkan oleh perbedaan dan menghimpun
keberagaman dalam satu wadah yang bernama Pluralitas.
B. Pluralisme Agama
Kajian tentang pluralisme agama dalam pemikiran agama
Kristen dimotori oleh John Hick yang pemikirannya dipengaruhi oleh pendiri
Protestanisme Liberal, Friedrich Schleiermacher. John Hick menawarkan berbagai
bentuk pluralisme agama, yang pertama adalah “pluralisme religius normatif”
yaitu sebuah ajakan untuk dikembangkannya toleransi dan umat Kristen diajak
untuk menghargai serta menjalin hubungan baik dengan agama lain. Para pluralis
Kristen khususnya John Hick berharap pluralisme jenis ini juga terdapat dalam
agama non-Kristen. Yang kedua “pluralisme religius soteriologis” pluralisme
jenis ini berkaitan dengan keselamatan yaitu umat non-Kristiani bisa memperoleh
keselamatan Kristiani. Menurut John Hick pluralisme jenis ini sangat diperlukan
karna umat Kristen akan cenderung tidak toleransi terhadap umat yang lain jika
mereka yakin sepenuhnya bahwa umat yang lain itu mutlak tidak bisa
diselamatkan. Yang ketiga “pluralisme religius epistemologis” yang menganggap
bahwa iman agama Kristen tidak memiliki tingkat kebenaran lebih baik daripada
iman agama yang lain, dan kemudian ada “pluralisme religius aletis” yang
menyatakan bahwa kebenaran agama harus ditemukan dalam agama-agama non-Kristen
dengan tingkat yang sama dengan agama Kristen.[2]
C. Dari Pluralisme ke Relativisme
Pluralisme yang sering kita jumpai selalu membahas
tentang keberagaman agama, padahal masih banyak keberagaman yang lain kita
jumpai di luar agama, seperti keberagaman ideologi, pandangan moral, keberagaman
pengetahuan, dll. Bahkan banyak kita temukan diantara keberagaman-keberagaman
itu yang saling bertentangan. Contoh Sosialisme dan Kapitalisme adalah dua
ideologi yang saling bertentangan. Lalu bagaimana pluralisme menyelesaikan
persoalan-persoalan yang saling bertentangan yang tidak akan ada
persamaan-persamaan yang dijumpai di dalamnya? Jika pluralisme konsisten, maka
pluralisme akan mengatakan “kita tetap menghargai perbedaan-perbedaan itu
sekalipun bertentangan dan diranah privat masing-masinglah kita boleh
membenarkan pandangan-pandangan kita”. Inilah yang akan menyebabkan Pluralisme
melangkah lebih jauh dan sampai pada titik yang lebih ekstrim yaitu
Relativisme.
D. Relativisme
Relativisme sebenarnya bukanlah ajaran baru, ajaran ini
telah muncul kira-kira abad ke-5 SM di Yunani. Ajaran ini muncul dan
dikembangkan oleh kaum Sofis[3] yang
mengaku sebagai orang-orang yang bijaksana atau orang-orang yang mempunyai
keahlian tertentu. Kaum Sofis sangat ditentang oleh Sokrates, Plato dan
Aristoteles dikarenakan sikap dan ajaran mereka. Kaum sofis ini sangat giat
berkeliling desa, mencari seseorang yang mau diajari dan kemudian meminta
bayaran kepada seseorang yang telah mereka ajari. Wajar saja jika Plato
mengatakan bahwa kaum Sofis itu adalah “pemilik warung yang menjual barang
rohani”. Aristoteles mengatakan bahwa argumen-argumen yang mereka ajarkan
kepada orang-orang awam adalah argumen-argumen yamg tidak sah.[4]
Plato dengan sikap keberatan atas tindakan kaum Sofis yang meminta bayaran
untuk pelajarannya mendapatkan kritikan dari profesor-profesor di zaman
sekarang. Mereka beranggapan wajar jika Plato tidak pernah memungut biaya dari
murid-muridnya, itu karna memang keadaan Plato yang berkecukupan dan tampaknya
Plato tidak menyadari kebutuhan kaum Sofis yang keadaan mereka tidak sebaik
dia. Namun anehnya mereka yang mengkritik Plato juga adalah orang yang
berkecukupan dan selalu menrima gaji dari apa yag mereka ajarkan.[5]
Begitulah, akhirnya istilah “Sofis” sepanjang sejarah dan sampai sekarang
dipergunakan untuk kesan yang tidak bagus. Ibn Rusyd menyebut argumen-argumen
Asy’ariyah sebagai argumen-argumen Sofistik, maksudnya argumen yang tampaknya
rasional bagi orang awam namun setelah diteliti ternyata tidak rasional.
Protogoras adalah tokoh utama kaum Sofis, dia terkenal
dengan kata-katanya “manusia adalah ukuran dari segala sesuatu” jika manusia
menganggap suatu persoalan dengan demikian maka demikianlah adanya, jika tidak,
tidak pula demikian. Maksudnya manusia sebagai individu adalah ukuran segala
sesuatu, jika ada perbedaan pendapat di antara manusia maka semuanya benar dan
tidak ada kebenaran objektif.[6] Sekalipun
pendapat-pendapat itu saling bertentangan. Contohnya sebagai berikut, angin
yang sama akan dirasakan lain oleh satu
orang yang sehat dan dirasakan lain lagi oleh orang yang sakit, dan
kedua-duanya adalah benar. Namun ajaran Protogoras ini tidak hanya menyangkut
hal-hal yang bersifat indrawi.[7]
Demikianlah sekilas ajaran Protogoras yang kemudian dia disebut-sebut sebagai
Bapak Relativisme.[8]
E. Pluralisme dan Nasionalisme
Jika Pluralisme dalam wacananya sangat menekankan dan
menghargai keberagaman, baik itu agama, suku, gaya hidup, ideologi dll, serta
mengesampingkan persatuan, maka nasionalisme sebaliknya; sangat menekankan
persatuan dan bukan berarti mengingkari atau mengutuk perbedaan. Lantas apakah
Nasionalisme itu? Nasionalisme adalah paham kebangsaan, bisa juga disebut
ideologi yang mencintai kesatuan bangsa. Kemudian apa yang disebut dengan bangsa?
Menurut Ernest Renan, bangsa adalah “kesatuan yang didasari kehendak untuk
bersatu”. Otto Bauer menyebut bangsa sebagai “persatuan perangai yang timbul
karena persatuan nasib”. Ki Bagoes Hadikoesoemo mendefenisikan bangsa sebagai
“persatuan antara manusia dan tempatnya”.[9] Bertrand
Russell mengatakan bahwa bangsa adalah “persatuan yang dibentuk oleh sentimen
dan insting kepemilikan atas kelompok atau kawanan yang sama”, singkatnya,
terdapat sebuah rasa untuk bersatu demi tujuan-tujuan bersama.[10]
Dengan penjelasan di atas nyatalah bahwa nasionalisme
adalah cerminan dari semboyan negara kita “Bhineka Tunggal Ika” yang berasal
dari Empu Tantular. Oleh karena itu penulis tidak sepakat dengan M. Dawam
Rahardjo yang mengatakan semboyan negara kita itu adalah cerminan dari
pluralisme,[11]
sebab pluralisme yang dinaungi oleh post-modernisme mengesampingkan persatuan
dan lebih menekankan keberagaman.[12]
Dengan demikian penulis berkesimpulan, Nasionalisme masih tetap relevan
dijadikan sebagai senjata yang ampuh untuk membendung terjadinya intoleransi di
dalam negeri.
-Minrahadi Lubis
DAFTAR PUSTAKA
Bertens, K. Sejarah
Filsafat Yunani, Yogyakarta: Kanisius, 1999
Higgins, Kathleen M. dan Solomon, Robert C. Sejarah Filsafat, Yogyakarta: Bentang Budaya, 2003
Lagenhausen, M. Pluralitas
dan Pluralisme Agama, Jakarta: Shadra Press, 2010
Muzairi.
Pluralisme, Relativisme dan Identitas dalam Wacana Postmodernisme
Rachman, Budhy Munawar. Argumen Islam untuk Pluralisme, Jakarta: Grasindo, 2010
Russell, Bertrand. Perjumpaan
Sains-Agama dan Cita-cita Politik, Jakarta: Ufuk, 2005
Russell, Bertrand. Sejarah
Filsafat Barat, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004
Sukarno. Revolusi
Indonesia,Yogyakarta: Galang Press, 2007
0 Response to "DISKURSUS PLURALISME: SEBUAH PERGOLAKAN PEMIKIRAN"
Posting Komentar