Intisari Buku "Tasawwuf dan Revolusi Sosial" Karya M. Subkhan Anshori
Pada
masa jahiliyah, Jazirah Arab tidak asing dari peradaban-peradaban besar. Secara
geografis wilayah ini menjadi jalur perdagangan yang menghubungkan barat dan timur,
dan juga antara masyarakat Asia dan Afrika. Mereka melakukan transaksi
perdagangan sekaligus pertukaran budaya dan pengetahuan, sehingga sangat
mempengaruhi kehidupan kesukuan yang ada. Orang-orang yang ikut terlibat dalam
aktifitas perdagangan dan mendapat keuntungan yang besar, akhirnya tumbuh
menjadi lapisan masyarakat kelas atas. Sedangkan orang-orang yang bekerja
sebagai buruh atau budak dalam sistem perdagangan itu menjadi lapisan
masyarakat kelas bawah.
Dalam
masyarakat seperti ini prinsip egaliter (kesetaraan) yang menjadi ciri
masyarakat suku sudah tidak dipatuhi lagi. Banyak sekali alat-alat produksi
yang dulunya dimiliki secara bersama-sama akhirnya hanya dimiliki oleh
perseorangan. Pertukaran yang dulunya antar kabilah dan untuk kepentingan
bersama berubah menjadi pertukaran pribadi dan untuk kepentingan pribadi. Orang-orang
kaya tidak lagi mempedulikan kepentingan kaum miskin.
Perdagangan
bebas yang mereka anut menyebabkan penumpukan modal yang melimpah, sehingga
mereka tidak lagi mempedulikan kaum kelas bawah. Kehidupan seperti ini membuat
masyarakat kelas bawah merasakan derita yang sangat dalam. Bahkan sampai
menyebabkan mereka tega membunuh bayi-bayi perempuan mereka untuk mengurangi
beban hidup.
Dalam
kondisi seperti ini Nabi Muhammad SAW muncul dengan membawa risalah baru. Ia
merespon persoalan masyarakat arab yang terpecah belah secara kelas sosial dan
kabilah. Islam datang untuk menolak pemberhalaan dan menggantinya dengan ajaran
Tauhid. Dalam ajaran Tauhid mereka semua berada dalam satu kesatuan, tidak
terbelah oleh kelas sosial dan tidak dalam kabilah yang tercerai-berai. Dalam
ajaran Tauhid hanyalah Allah satu-satunya zat yang berkuasa atas diri manusia,
bukan orang-orang kaya. Mereka yang menguasai diri manusia yang lainnya maka
harus dihancurkan sebagai konsekuensi logis dari ajaran tauhid itu sendiri. Ajaran
tauhid sangat mengutuk ketimpangan sosial dan menekankan adanya kesetaraan
serta kehidupan yang egaliter.
Upaya
untuk menciptakan keadilan sosial dan mengutuk ketimpangan sosial terlihat sekali
dalam sejarah turunya ayat-ayat al-quran. Secara tegas ayat-ayat tersebut memberi
peringatan kepada orang-orang kaya yang memuja-muja hartanya sehingga tidak
mempedulikan hak-hak anak yatim dan fakir miskin. Salah satu contohnya adalah
yang berbunyi “Tahukah kamu (orang) yang
mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak
menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang
yang shalat, (yaitu) orang-orang yang lalai dari shalatnya, orang-orang yang
berbuat riya’, dan enggan (menolong dengan) barang berguna.“.(QS. Al-Maun:
1-7)
Secara
tidak langsung ayat-ayat tersebut menyerukan kepada umat manusia untuk
memerangi ketimpangan sosial, menciptakan keadilan sosial, dan sekaligus
mendorong mereka untuk menjalani kehidupan yang sederhana dan tidak disilaukan
dengan kemegahan dunia. Inilah karakteristik kezuhudan islam yang sebenarnya.
Kezuhudan
dalam islam tidak terpisah dari seruan menjalankan amar ma’ruf nahi anil munkar (menyerukan kebaikan dan mencegah
kemungkaran), tidak memisahkan diri dari kehidupan sosial, dan melarikan diri
dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah (membangun peradaban) di muka
bumi. Sebaliknya kezuhudan dalam islam merupakan nilai-nilai keagamaan yang
harus ada pada tiap-tiap diri manusia agar membangun peradaban dengan benar dan
tidak menyimpang dari nlai-nilai kemanusiaan dan apa yang telah diperintahkan
oleh Allah SWT.
Pemahaman
kezuhudan yang seperti inilah yang dijalankan oleh Rasulullah SAW. Beliau
adalah orang yang merespon tantangan hidup dan tidak mengabaikan atau lari
darinya. Beliau adalah seorang yang berjuang menegakkan kebenaran, keadilan,
menciptakan kehidupan baru yang terjauh dari kesesatan adat jahiliyah,
menyatukan kabilah-kabilah menjadi umat yang satu, menyelesaikan konflik
internal di antara mereka, menciptakan keadilan sosial di kalangan umat islam,
dan sebagainya. Beliau juga sangat membenci kemiskinan.
Dalam
doanya beliau sering menyetarakan antara kemiskinan dengan kekafiran,
kemiskinan dengan kezaliman, dan sebagainya. Sebagai contoh adalah misalnya “Aku berlindung dari kemiskinan dan kekufuran”
atau “Aku berlindung dari kemiskinan dan
kezaliman”. Dalam doa-doa itu Rasulullah SAW mengepadankan antara
kemiskinan dan kekafiran, sehingga dosa struktur sosial yang mengakibatkan
manusia menjadi miskin setingkat dengan kedosaan seseorang yang tidak beriman. Oleh
karena itu memerangi kemiskinan dapat diartikan setingkat dengan memerangi
kekafiran.
Dari
uraian di atas dapat kita tarik kesimpulan bahwasanya pada hakikatnya agama
datang tidak untuk mendukung kezaliman dan penindasan, namun untuk melakukan
perubahan sosial. Kemunculan agama-agama adalah untuk merevolusi kondisi sosial
agar menjadi lebih baik. Tidak ada kehadiran seorang nabi pun selain pasti
membawa semangat seperti itu. Maka wajar jika tidak ada nabi yang tidak
bermusuhan dengan mereka yang mempertahankan status quo.
Namun
demikian, pada perkembangannya agama tidak selamanya memfungsikan peran
revolusionernya itu. Setelah kematian para nabi, karena tuntutan kondisi sosial
yang ada sebagian penafsiran terhadap ajaran para nabi telah menjauhkan
semangat revolusioner dalam agama yang telah mereka bawa.
Fenomena
tersebut juga terjadi pula dalam islam. Ajaran Rasulullah SAW yang sangat
revolusioner, membenci ketidakadilan dan ketimpangan sosial, sangat
memperhatikan realitas sosial dan berusaha memperbaikinya, akhirnya mengalami
pemandulan. Moralitas islam yang awalnya sangat progresif (selalu mengarah
maju), ditujukan untuk menyongsong dunia dan menghadapi segala permasalahannya,
akhirnya menjadi moralitas dekaden (merosot), moralitas budak, melarikan diri
dari dunia dan hanya memfokuskan diri pada akhirat. Pemaknaan terhadap
moralitas islam semisal sabar, berserah diri, ridha, tawakal, dan semisalnya
tidak lagi disenyawakan dengan perjuangan memerangi ketidakadilan dan keinginan
untuk merubah realitas sosial sebagaimana Rasulullah SAW memaknainya.
Inilah
pemahaman yang diwarisi umat islam sekarang dari para sufi. Pemaknaan sufi
terhadap moralitas islam yang mereka kaji dalam pembahasan tentang ahwal (kondisi-kondisi jiwa) dan maqamat (tangga-tangga spiritual) telah
mengakibatkan umat islam meninggalkan dunia, mengangan-angankan akhirat dan
tidak melakukan tindakan positif di dunia. Pemikiran para sufi yang seperti ini
berangkat dari kondisi sosial politik islam pasca Rasulullah SAW.
Hegemoni
pemikiran mereka telah membuat umat islam meninggalkan dunia, membiarkannya
dikuasai para penindas baik dari luar atau dari dalam peradaban islam sendri.
Mereka telah membuat umat islam saat ini lebih mensakralkan akhirat ketimbang
dunia. Keilmuan yang berkaitan dengan akhirat dianggap lebih penting ketimbang
keilmuan yang berkaitan dengan dunia. Perhatian terhadap keselamatan jiwa
dianggap lebih penting ketimbang keselamatan jasmani dari penindasan. Padahal
akhirat diciptakan Allah SWT untuk kemaslahatan umat manusia di dunia dan bukan
untuk memperbudak manusia di dunia. Moralitas dekaden (merosot) yang selama ini
dianut oleh umat islam sekarang merupakan moralitas yang tidak transenden
(secara langsung), tidak berasal dari Rasulullah SAW.
Pada
hakikatnya hilangnya semangat revolusioner dalam islam bukan hanya disebabkan
oleh tasawuf, namun juga keilmuan-keilmuan islam lainnya. Kondisi sosial
politik pasca nabi telah mengakibatkan keilmuan islam yang dilahirkan pada masa
itu terkesan tidak revolusioner, dan malah digunakan sebagai alat kekuasaan.
Hampir seluruh keilmuan Islam baik Fiqih, Filsafat, Hadits, maupun Adab yang difungsikan
untuk melegitimasi status quo, dan
bukannya malah memberikan sebuah justifikasi teologis terhadap perlawanan
kepada penguasa zalim.
Maka
perlulah adanya pembaharuan terhadap keilmuan-keilmuan Islam seperti ilmu
Tasawuf, Fiqih, Tafsir, maupun Hadist. Sehingga selaras dengan kepentingan masyarakat
tertindas. Sebab jika penafsiran dan pengambilan keputusan hukum harus sesuai
dengan kemaslahatan umat, sedangkan dalam diri kemaslahatan umat terdapat
kemaslahatan yang beragam. Ada kemaslahatan minoritas yang berkuasa dan
cenderung melakukan penindasan, dan ada pula kemaslahatan mayoritas yang justru
mengalami ketertindasan dan ketidakadilan. Maka kemaslahatan umat yang
sebenarnya adalah kemaslahatan mayoritas itu sendiri.
Merdeka
!!
-Limpad Tuhu Pamungkas
0 Response to "MORALITAS ISLAM YANG REVOLUSIONER"
Posting Komentar